2014 Merupakan tahun pemilu di Indonesia, seperti biasa ketika menjelang pemilu dari kepala desa
sampai pemilu presiden banyak atribut-atribut parpol bertaburan di
pinggir-pinggir jalan, di tiang litrik, di tembok, di pohon, bahkan kadang di
kaos tukang becak. Terasa ramai sekali pesta demokrasi Indonesia.
Jika kalian pernah melihat pameran foto, nah mungkin lebih
tepat jika Indonesia menjelang pemilihan umum seperti ajang pameran foto.
Betapa tidak, masing-masing caleg hingga capres, berpose sebaik-baiknya, senyum
simpul yang manis, hingga senyum lebar yang menampakan gigi putihnya. Memang
sih, mereka bukan model untuk cover majalah maka jangan heran jika foto
mereka terpampang di buku yasin beberapa jamaah pengajian, konon katanya
itu pemberian caleg. Entah apa maksud
mereka menampilkan foto di buku yasin, untuk dikenal atau mungkin mereka mau dikirim yasin,
sepeti para almarhum dan almarhumah.
Saya bukan orang seni jadi maaf jika pendapat saya tentang
estetika keindahan melengceng sana sini. Tapi jika pendapat saya merupakan
suatu yang benar, mungkin hanya kebetulan semata. Keindahan suatu kota karena payung teduh alami
dari pohon-pohon yang ada di pinggir jalan menjadi kurang menarik, karena
sebagian besar baliho caleg bersetubuh dengan pohon-pohon, tembok jalanan ditempel poster-poster dengan senyum manis tapi boong. Slogan-slogan janji-jani
dan menjanjikan perubahan. Apalah artinya keindahan suatu kota dengan bangunan masa penjajahan jika di kiri, kanan, depannya terhalang baliho-baliho caleg sok eksis dengan janji-janji dan selogan gombalnya.
Setiap hari mata kita terpaksa menikmati pemandangan yang tidak menarik. Pernah suatu ketika biat hati saya
untuk mengambil gambar di pinggir jalan, namun seorang teman memperingatkan
saya, “ah, jelek ada calegnya, pindah pindah,” teriak teman untuk memotret di
tempat yang lebih steril dari caleg. Andai saja para caleg tersebut
mengiklankan diri mereka di koran maka saya dengan senang hati bagian iklan pada koran tersebut akan saya buang.
Vandalisme, itulah kata yang tepat ketika melihat penistaan,
perusakan ruang dan fasilitas publik seperti yang dilakukan para caleg. Tidak salah jika
mereka mengkampanyekan diri mereka, tapi sangat salah besar jika mereka
melakukanya dengan cara melukai pohon, menempelkan poster-poster mereka di
tembok ataupun tiang-tiang listrik, itu sama saja dengan perusakan.
Panwaslu berkali-kali merazia baliho-baliho yang dipasang
tidak pada tempatnya, rekan-rekan yang bergerak secara inisiatif juga sering
menertibkan baliho dan poster-poster yang merusak fasilitas publik. Tapi apalah
arti dari tindakan tersebut jika sang empunya baliho tidak sadar dengan hak-hak
publik, terlalu egois memaksakan orang mengenal mereka lewat visual bukan lewat
kerja nyata.
Sebelum jadi caleg saja mereka sudah berani merampas hak-hak
publik, lantas bagaimana jika mereka telah menjadi wakil rakyat? Masihkah
mereka berpikir mengenai publik atau hanya memilikirkan kepentingan diri mereka
sendiri. Kebaikan yang besar dimulai dari kebaikan yang kecil. Begitu pula dosa
besar semula berawal dari dosa yang kecil.
0 komentar:
Post a Comment