Tepat ketika aku selesai menjemput mimpi ku riuh itu ramai
terdengar, bahkan ketika sebagian orang terlelap di malam gelap sementara yang
lain masih menggeliat. Di terminal yang sepi dan dingin aku di sapa rombongan
dari Semarang yang akan mendaki ke Rinjani, oh iya hari itu hari selasa, 18
November 2014. Rombongan itu bertanya biaya transport dari Pelabuhan Gilimanuk
ke Padang Bay Bali, selebihnya mereka bertanya seputar pendakian ku dan
rombongan kemarin. Katanya, sekarang ongkos dari Gilimanuk ke Padang Bay naik
menjadi Rp.60.000, padahal seminggu yang lalu aku bersama rombongan masih Rp.
50.000. Kata mereka ini karena pemerintah baru saja menaikan harga Bahan Bakar
Minyak (Premium dan solar), sontak kami pun kaget, sebab sudah hamper 10 hari
kami tak pernah melihat berita di televisi,
tidak ada jaringan internet untuk membuat media social, sebab kami sedang
menikmati alam dan lari dari keriuhan dunia.
Media social ramai, kicauan pro dan kontra bertaburan di
linimasa. Para pengamat menyuarakan apa yang telah lama diamati, para anggota
dewan sibuk mencurigai Jokowi. Mahasiswa demonstarsi lebih dari 4SKS sehari,
pertigaan, perempatan, ramai aksi menolak pemerintah mengurangi subsidi.
Aku, rakyat kecil yang bersuara lirih. Mau nuntut apa? Sejahtera?
Bukanya sok kaya atau menerima kenyataanya. Aku pun tau efek domino dari
kenaikan BBM bersubdisi, banyangkan saja. Sewaktu sampai di stasiun kereta,
pada malam hari aku bersama teman ku makan nasi telur dengan harga Rp. 5000/
porsi + segelas air putih, tetapi esok paginya Nasi telur sudah menjadi
Rp.6000/perporsi tanpa segelas air putih. ‘Biaya hidup makin mahal, percuma
banyak mengeluh, tapi banyaklah bekerja’ aku menggumam dalam hati.
Aku bukan orang porpol yang paham politik aku pula bukan
pengamat. Aku hanya rakyat kecil yang mencoba bijaksana pada keadaan, dan pada
kebijaksanaan yang selalu diajarkan ayahku. Aku anak rantau yang terpaksa
mandiri untuk dapat bertahan hidup di kerasnya realita. Sekali lagi aku bukan
anak orang kaya, tapi ayah ku percaya rezeki Tuhan itu akan turun seperti embun
pagi.
Ayah selalu memberikan apa yang aku pinta, seperti
pemerintah memberikan subsidi pada rakyatnya. Tapi suatu ketika ayah dan aku
sepakat untuk mengurangi subsisi itu, sebab pemikiran ku dan beliau sederhana,
berapapun uang yang ia berikan akan habis pada kebiasaan konsumtif dan itu
kebiasaan umum orang Indonesia. Kesepakatan kami adalah ayah mengurangi subsidi
jajan bulanan ku di tanah rantau, sebagai gantinya ia memberikan ku modal untuk
memulai usaha agar aku belajar mandiri
dan lebih produktif, “jika ingin lebih baik jangan jadi peminta, jadilah pengusaha”
begitu kata ayah. Memang beliau tak pernah mengatakan akan menyetop seluruhnya
hak ku sebagai anak atas kebutuhan ekonomi ku. Tapi kesepatakan adalah
kesepatan, pantang bagi ku meminta bantuan untuk berdiri selama aku masih mampu
untuk berdiri meskipun itu dengan satu kaki atau bahkan tongkat. Kecuali ketika
aku sedang sekarat, itu lain cerita.
Awalnya aku kesulitan menyesuaikan kehidupan ku dengan cara
ku sendiri. Tapi lama kelamaan aku menikmati, perlahan aku mulai lepas dari
tanggungan subsidi orang tua ku, meskipun subsidi itu tetap ada tapi aku merasa
malu menggunakanya sebab aku sudah mulai mandiri.
Pasca kenaikan harga BBM ayah ku menelpon ku, kami bercerita
banyak tentang perjalanan ku. Aku meneteskan air mata tanpa ia tahu, ketika aku
puas bercerita ia hanya mengatakan “Kalau ngandalin orang tua, gak mungkin kamu
bisa seperti sekarang, berpergian sejauh itu, menekuni hobi mu yang mahal-mahal
itu..” aku terhenyuk teringat kerja keras mereka mendewasakan anak-anaknya, aku
ingat betapa susahnya aku sewaktu kecil, betapa susahnya aku jika kesepatakan itu
tidak pernah terjadi, jika kesepakatan itu takpernah ada mungkin untuk bensin
motor saja ku harus minta pada mereka. Sementara ku tau mereka masih harus
membiayai dua adik ku yang juga di ratau. Aku mengingat teman-teman ku yang
dengan bangganya menghabiskan sebungkus rokok sehari dari uang kedua orang
tuanya. Arhh, betapa sia-sianya jerih payah orang tua.… Dewasa dan bijaksana
itu taka da di mata kuliah, tapi selalu ada dari orang-orang sekitar kita.
Aku memahami apa yang dilakukan pemerintah sekarang terlepas
dari kisruh politik atau apapun. Bahwa segala hal yang bersifat konsumtif harus
dikurangi, dan dialikan ke sector-sektor yang lebih produktif, selama ini
bangsa kita dimanja oleh sifat konsumtif, menghamburkan bahan bakar bersubsidi
karena harganya relative terjangkau, masyakat mampu enggan menggunakan BBM non
subsisdi meskipun mobilnya Jazz motornya ninja, karena merasa ada yang lebih
murah. Sekarang, ketika premium yang harganya Rp.8.500, dan pertamax yang
harganya Rp. 9900 masyarakat lebih memilih menggunakan pertamax, suatu gambaran
bahwa Bangsa Indonesia ini mampu hanya saja sudah terbiasa dibuai dan dimanja.
Marilah kita positif thinking terhadap pemerintah, jangan
menjudge buku dari dari sampulnya. Kita awasi kebijakan pemerintah kita ikuti
instruksi dan manfaatkan pengalihan subsidi BBM ini, toh bukan untuk
siapa-siapa, untuk sodara kita juga yang kurang mampu. Ada Jaminan Kesehatan
Nasional bagi kita warga Negara Indonesia, kartu ajaib yang membebaskan adik ku
dari tanggungan biaya rumah sakit senilai Rp. 10juta pada beberapa waktu lalu.
Ada kartu Indonesia Sehat, ada Kartu Indonesia Pintar bagi mereka yang kurang
mampu. Dampingi yang lemah untuk mendapatkanya, awasi pengambil kebijakan untuk
distribusinya, saya kira itu adalah jalan terbaik dari pada kita berperang
melawan bangsa sendiri.
Jangan takut kita menjadi miskin hanya karena harga BBM
naik, harga sembako naik, ongkos transportasi naik, tapi takutlah menjadi orang
yang arogan hanya karena menuntut kepentingan sendiri kita menciderai
kepercayaan kita terhadap orang lain yang berniat baik.
Percayalah Tuhan akan selalu memberikan rezkinya seperti ia
selalu menurunkan embun dipagi hari tanpa kau sadari. ^_^
0 komentar:
Post a Comment