Pepatah kuno mengatakan tak ada gading yang tak retak. Tak ada yang sempurna kecuali Yang Maha Satu. Seindah-indahnya Negeri Prahara selalu ada setan yang menjelma bahkan merasuk, merusak, menghasut, menghancurkan. Terdapat retak yang teramat jauh terbentang dari ujung timur hingga ujung barat dari utara hingga selatan.
Negeri yang gemah ripah kini riuh ingin berpesta, Mengangkat orang-orang yang akan menyambung lidah para hamba kepada penguasa. Negeri ini riuh karena hamba-hambanya mulai sadar dizalimi penguasa, di khianati wakilnya, tak sadar dibuat miskin, tak sadar dibuat lapar ditengah lumbung padi. Penguasa negeri ini ingin berpesta seperti Rakuti yang berpesta setelah mengambil Majapahit dengan paksa. Penguasa mencoba mengambil hati dengan akal bulus nan halus, lebih halus dari sutra lebih menyakitkan dari pada raksa.
Lihatlah Negeri Prahara ini menjelang pesta janji manis bertaburan, senyum manis berkembang, rumah yatim ramai di kunjungi, banyak orang bergreliya menawarkan bantuan atas nama kemanusian. Kuburan ramai di datangi, tempat-tempat keramat menjadi gaduh karena ritual, semoga dedemit tak marah diganggu.Ahh mungkin dedemit takan marah, sebab ia akan semakin banyak teman nanti dineraka bersama penguasa dzalim.
Ini Negeri Prahara yang tak lagi indah dibayangkan. Disini hamba-hamba harus membeli beras dengan harga yang mahal padahal hamba-hambanya pula yang menaman hingga memamen. Hamparan rumput luas terbentang tak lagi penuhi binatang ternak, pagar kawat berduri mengelilingi plang bertulis "TANAH INI MILIK PEMERINTAH, DILARANG MENGGUNAKAN TANPA IZIN", sapi pun tak berani merumput di sana, Akhirnya sapi kekurangan gizi karena hanya makan jerami. Penguasa bijak mengambil kebijakan untuk mendatangkan sapi dari negeri tetangga. Niat baik penguasa dzalim tentulah ada maksud, "lebih baik negeri kaya ini membeli sapi dari pada memelihara sapi, aku terlalu sibuk bergitar mencipta lagu dan menulis buku, tak sempat lagi mengembala sapi," pikir sang penguasa.
Sang Penguasa teramat sibuk dengan urusan perasaan dan sibuk mencurigai, hingga tak sadar darahnya dihisab oleh pembantu-pembantunya yang ternyata Vampir yang harus darah. Hamba terbengkalai, harga pupuk naik, lahan garapan berubah jadi perhotelan, lahan garapan berubah jadi apartemen. Petani tergusur dari ladangnya sendiri, hamba-hamba menjadi bodoh karena tak dididik budi pekerti oleh penguasa, sebab pendidikan hanya untuk anak orang kaya golongan priyayi, orang-orang miskin diajarkan oleh kurikulum yang aburadul dan dibodohi vampir-vampir penguasa. Hamba-hamba dijajah kembali dengan teknologi Eropa yang menghisap sumber daya alam Negeri Prahara, minyak, gas, panas, emas, tembaga, hamba kerja rodi memperkaya orang asing.
Penguasa lebih memilih berteman dengan bangsa kapitalis yang memberi mereka penghargaan. Penguasa lebih percaya dedemit ketimbang Tuhanya, maka tak heran negeri ini mulai rapuh dan terkikis oleh keserakahan. Tuhan mulai bosan, Digoyangkanlah gunung-gunung yang menyangga langit negeri, Tuhan mulai marah, dikeringkan air yang dahulu mengalir dan kemudian ditumpahkan dengan deras hingga sebagian negeri ini tenggelam dan sebagian lagi kekeringan.
Inilah Negeri Prahara yang tengah berpesta di tengah prahara.
0 komentar:
Post a Comment