Merbabu, 24 Desember 2014
Entah ini pendakian ku yang ke berapa kalinya ke Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Tapi aku ingat ini pendakian kedua ku melalui Jalur Kopeng Cuntel. Tadinya aku sudah enggan lagi mendaki melalui jalur ini, sebab banyak pengalaman tidak mengenakkan melalui jalur ini waktu pendakian pertama kali. Tapi apa daya, huruf U yang terbalik hingga menyerupai magnet itu begitu kuat menarik ku kemari bersama segerombolan manusia istimewa dari Bogor, jadi lah ini pendakian bersama Palanus Kura-kura Ninja dan Semut Summit.
Sebenarnya aku sudah lupa sama nama-nama mereka, hanya beberapa orang saja yang aku masih ingat nama sekaligus rupa. Beberapa bulan lalu aku bertemu Palanus di Puncak Sindoro, gerombolan yang membuat Puncak Sindoro menjadi gaduh saat itu. Pertama kali bertemu mereka aku ingat tim ku terdahulu yang juga suka bikin heboh. Tapi kini entah dimana Semut-semut yang lain.
Semua berawal dari foto, sehingga kami berteman sampai saat ini, jarak tak lagi bisa memisahkan kami yang berbeda generasi dan berbeda provinsi. Palanus mempunyai basecamp di Tangerang, sementara Semut Summit di Yogyakarta. Kami biasa menghadapi medan pendakian yang berbeda, Palanus lebih sering explore gunung di Jawa Barat, Sementara Semut Summit, Gunung Jawa Tengah dan sekitarnya, beberapa waktu lalu Semut Summit ke Rinjani. Tapi siapapun yang kita temukan di gunung entah dari mana mereka berasal, apapun profesinya apapun warna kulitnya mereka adalah sodara, ya gak...?? iya in aja deh
Awalnya pendakian ini direncakan naik via Kopeng Tekelan dan turun di Wekas, lalu lanjut ke Pantai Baron. Rencana Palanus begitu, tapi semua berubah ketika kesalah pahaman datang. Sopir mobil yang membawa Palanus mengantarkan mereka ke Kopeng Cuntel, sementara aku sudah menunggu mereka di Kopeng Tekelan, alhasil aku harus menumpang ojek dan berpindah lokasi ke Kopeng Cuntel. Sambutan hangat dari Palanus membuat lelah ku hancur, letih ku yang membeku menjadi cair bahkan meluber seperti es krim yang dimasukan ke ricecooker, haha
13 orang dari palanus + saya yang sebatang kara mulai mengatur ulang jadwal dan rencana pendakian. Sebagai orang yang berpengalaman di Jalur Kopeng Cuntel masukan saran dan pertimbangan wajib ku berikan pada Palanus, syukurlah mereka dapat menerima sehingga diskusi tak lekas basi dan malah jadi ajang candaan hingga tengah malam.
Huruf U yang menyerupai Magnet
Hari sudah malam, sebagian personel sudah pada terlelap tidur tapi sebagian dari kami masih sibuk dengan banyolan kosong yang membuat tak henti tertawa. Di sudut ruangan ada yang menarik perhatian Kang Asep, benda kecil yang menempel di dinding. Benda itu terletak di atas gambar yang menyerupai petunjuk arah, bentuknya seperti huruf U atau memang huruf U, namun karena posisinya terbalik ke kiri 160derajat jadi lebih mirip tapal kuda atau magnet. Dengan tampang polos tanpa dosa nya Kang Asep bercuap "itu tapal kuda atau magnet ya?" sontak membuat penghuni basecamp yang masih terjaga tertawa terbahak-bahak, bahkan aku sampai menahan sakit perut karena tertawa. Riuhnyaa tawa kami membuat beberapa manusia yang tengah tertidur menjadi terbangun. Setelah di perhatikan dengan sesama, itu ternyata bukanlah tapal kuda apa lagi magnet tapi itu huruf U yang berarti Utara.
Pendakian Kedua via Kopeng Cuntel
Tim bergerak pukul 7:30 dari basecamp setelah berpfoto-foto kami bergegas mengangkut bawaan kami masing-masing. Masih pagi, udara masih begitu sejuk meskipun tadi pagi gak ada sunrise, sebab ketika mentari muncul awan mendung masih angkuh menghalang sinarnya. Ladang penduduk adalah medan pertama yang harus kami tempuh, lalu hutan hingga hingga sabana sampai pos 3, kemudian medan berganti tanjakan tanpa henti sampai di pos pemancar.
Entah kenapa pendakian kali ini terasa lebih berat, biasanya aku hanya butuh aklimasisi 1- 2 jam pendakian. Hal itu untuk mengatur ritme langkah dan nafas ku. Tapi kini aku membutuhkan waktu lebih lama, mungkin karena sebelum berangkat tubuh ku sudah kurang fit, beberapa hari aku hujan-hujanan. Kali ini bukan ingin ku berjalan di bagian belakang, tapi aku Aku pun tercecer di barisan pasukan kelaparan di belakang bersama Asar dan Hanjar yang setia menemani ku ngesot.
Monyet Tua Kelaparan
Kami lupa untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat. Menjelang tengah hari cacing-cacing dalam perut memberontak minta diberi makan, sialnya perjalanan masih jauh, Pos II saja belum dilewati, hanya cemilan dan makanan ringan yang bisa kami jamah sebagai makanan pembuka buat cacing-cacing yang mulai kelaparan.
Entah siapa yang memulai memberi makan si monyet tua. Tiba-tiba saja si monyet telah membawa biskuit dan mengunyahnya, alhasil monyet lapar itu terus mengikuti kami semenjak pos 1 hingga menjelang pos II. Tak leluasa kami mengeluarkan makanan sebab matanya selalu mengamati gerak-gerik kami, tak segan ia mendekat dan memamerkan wajah ganasnya seperti perampok yang siap menjambret makanan-makanan kami.
Kebiasaan-kebiasaan sepele seperti itu lah yang harusnya dihindari oleh pendaki, jangan membiasakan memberi makan binatang-binatang yang kita temui di gunung. Memberi makan hewan-hewan di alam akan merubah prilaku mereka, yang tadinya mereka mencari makan sendiri di alam akan menjadi tergantung ke pada pendaki, dan jika itu dibiarkan mereka akan menjadi terbiasa bahkan mengganggu pendaki lain jika tidak diberi makan.
Kabut yang Datang dan Pergi
Sejak pagi memang Merbabu diselimuti kabut yang cukup tebal. Hanya sesekali sinar terik mentari menyentuh alam Merbabu, sesekali pula pemandangan desa di kaki Merbabu terlihat dari ketinggian. Kabut terus datang silih berganti dengan ketebalan yang cukup pekat. Menjelang sore di Pos Menara baru lah kami cukup lama menikmati pemandangan ketika kabut tersingkir sejenak seolah mengizinkan kami menikmati sunset yang terhalang bukit.
Udara tidak begitu dingin di sekitar tempat kami mendirikan tenda, di Pos 3 jalur wekas tepatnya di pertigaan titik temu jalur kopeng dan wekas. 3 tenda kami dirikan untuk menampung kami malam ini. Aku membuat pancuran air didekat camp area, kebeteluan di sana ada air yang mengalir. Sementara yang lain mempersiapkan tenda dan memasak untuk makan malam.
Malam hari kabut berganti dengan kalut, sebab salah satu anggota mengalami gejala hipotermia. Ia kedinganan dan mengginggil, beberapa teman mencoba menenangkannya. Aku teringat beberapa cara menangangi hipotermia, salah satunya dengan parutan jahe yang dilumuri ke seluruh tubuh penderita. Kebetulan saat itu aku membawa banyak sekali wedang uwuh lengkap dengan jahe nya, jahe itu yang aku tumbuk (seharusnya diparut) hingga hancur dan bisa dilumuri ke tubuh penderita. Lalu kami mengisi botol-botol minum dengan air panas dan kemudian memasukannya ke dalam Sleeping bag yang di gunakan, gunanya untuk memanaskan suhu di dalam sleeping bag, dan kebetulan pula sebagian dari kami membawa matras alumunium foil, jadi si penderita dibungkus dengan alumunium foil dan dimasukan kedalam sleeping bag yang sudah dipanaskan.
Kemudian si pendertia diberi minum air jahe hangat dan diberi makan agar perutnya tidak kosong dan masuk angin. 1 jam kemudian setelah semua pasukan makan malam, ternyata si penderita sudah bisa keluar tenda dan bercanda dengan kami.. hahaha
Tiga Puncak Tertinggi Merbabu
Summit attack direncakan pukul 02.00 Wib, rencanya sih begitu tapi pukul 2 teman-teman belum pada bangun. Aku terbangun pukul 01.00 wib, melihat cuaca cukup cerah dengan banyak bintang serta angin yang cukup tenang aku keluar dari tenda dan memotret bintang serta lampu perkotaan yang tampak dari sekitar tenda. Hingga pukul 2 belum juga aku melihat teman-teman terbangun, mungkin mereka lelah pikir ku. Aku kembali ke dalam tenda menghangatkan diri sejenak, alarm jam 02:30 mulai berbunyi aku keluar tenda dan menyalakan api unggun sendiri. Aku membangunkan teman-teman menjelang jam 3, sebab mereka harus bangun jika tidak ingin terlambat sampai ke puncak. Satu persatu dari mereka bangun, tadinya ada beberapa orang yang tidak ikut ke puncak, tapi pada akhirnya semua jadi ke puncak. Aku pun demikian.
Persiapan untuk summit berlangsung cukup lama menjelang 3:30 kami baru bergerak Perjalanan diperkirakan dapat di tempuh 2 jam hingga ke Puncak KetengSongo. Perjalanan yang cukup berat adalah dari Gunung Kukusan hingga ke Helipad, lalu dari Helipad ke Pertigaan Puncak Syarif melewati tanjakan setan. Namun teman-teman sepertinya terlalu bersemangat hingga tidak kesulitan melewati jalur-jalur tersebut.
Sekitar pukul 06.00 kami sampai di puncak KetengSongo. Beberapa teman langsung menunaikan Sholat Subuh di pucak dengan berasalkan jaket mereka. Kabut lebih tebal menyelimuti puncak KetengSongo, jarak pandang hanya berkisar 2 - 5 meter saja, butirbutir embun menempel di permukaan jilbab, buff hingga membentuk seperti butiran salju. Kamera SLR ku berembun mengacaukan hasil jepretanya, tak baik jika membiarkannya berlama-lama di luar.
Cukup lama kami di puncak KetengSongo tanpa bisa menikmati pemandangann sekitar karena kabut tebal. Kami hanya bisa menikmati coklat dan cemilan ringan di puncak sambil berharap kabut tebal menyingkir meski sejenak. Puncak KetengSongo adalah salah satu dari tiga puncak tertinggi Gunung Merbabu, di puncak ini terdapat batu yang berlobang seperti wadah air. Beberapa tenda berdiri di Keteng Songo, beberapa pendaki pun sepertinya baru tiba di Puncak, sebagian dari mereka berfoto-foto di tengah kabut tebal.
Menunggu kabut tebal menyingkir seperti menunggu tanpa kepastian. Kami memutus kan untuk melanjutkan ke Puncak Trianggulasi yang berada di sebalah kanan dari Keteng Songo dengan menempuh perjalanan sekitar 5menit. Menembus kabut tebal berharap angin menyingsingkan gelap menjadi terang.
Tuhan mengabulkan doa kami, meski hanya sejenak kabut menyingkir, cahaya mentari yang terik leluasa mejamah kami yang tadi nya dingin. Hamparan perbukitan berwarna hijau begitu jelas, namun sayang Merapi di kejauhan masih berselimut kabut tebal.
Puncak memang bukan hal yang terlampau istimewa, tapi puncak adalah satu tujuan pasti bagi setiap pendaki meskipun tak jarang tujuan itu harus terpaksa kita kubur karena resiko yang menanti jauh lebih berat. Para pendaki bukanlah anak-anak manja tapi mereka adalah orang-orang yang bertaruh nyawa demi sebuah kepuasan batinnya. Mereka tak hanya menjaga raga pribadi, tapi menjadi penjaga rekan yang lain.
Aku bersyukur bisa membawa mereka pada misi yang tak selesai sempurna. Setidaknya mereka sudah menikmati keseluruhan puncak Tertinggi Gunung Merbabu, Puncak Keteng Songo, Puncak Trianggulasi, Puncak Syarif yang hanya kami nikmati sebagian orang saja, sebab yang sudah tak kuasa menahan lelah dan kembali ke tenda.
Pulang
Pulang adalah hal yang kurang begitu aku sukai, meskipun sering kali aku berpikir untuk pulang ketika lelah itu teramat menyiksa, tapi bukan berarti aku tak ingin pulang, aku selalu kangen rumah meskipun aku jarang sekali dirumah. Pulang sangat dekat dengan perpisahan. Begitu kita memutuskan untuk pulang berarti kita memutuskan untuk berpisah. Berpisah dengan segala kenangan yang tercipta beberapa waktu lalu, berpisah dengan orang-orang yang sebelumnya menghabiskan waktu bersama.
Memilih jalur yang berbeda ketika pulang dan pergi adalah hal menarik, kita tak harus melewati pendakian yang susah seperti kemarin namun kita juga harus bersiap dengan segala kemungkinan yang akan menyambut kita didepan sana. Karena kita tak pernah tahu jalur seperti apa yang akan kita lewati nanti.
Wekas
Menurut banyak pendaki ini adalah salah satu jalur yang paling bersahabat dan terbilang pendek untuk pendakian Merbabu, namun bagi ku Jalur selo tetaplah jalur yang paling enak. Perjalanan pulang melalui jalur ini menjadi semakin berat, sewaktu packing tiba-tiba hujan turun mengguyur semua barang yang ada. Keril, baju dan tenda menjadi basah hingga menambah beban. Aku kembali menjadi penghuni barisan paling belakang bersama Hanjar dan Asar. Saat itu tubuh ku terasa panas, aku rasa aku demam badan ku lemas, tapi tetap ku paksakan untuk segera turun. Hanjar dan Asar menjadi teman paling kocak di barisan belakang, dengan keril yang sama-sama berat kami tak henti-hentinya tertawa dengan candaan yang ngelantur. Hingga menjelang malam kami mulai kawatir sebab tak kunjung sampai ke basecamp, sementara kami tak tahu entah sampai di mana rekan-rekan kami di depan.
Selepas magrib kami bertiga menjadi hening, tak ada lagi candaan atau tawa yang mebahana. Hanya suara nafas dan langkah kaki yang nyaring terdengar. Lampu lampu yang terlihat seolah semakin menjauhi kami, suara-suara yang terdengar dari bawah seolah dekat tapi tak kunjung kami capai. Arhhh.. lelah sudah begitu menyiksa jari-jari kaki ku, apa lagi dengan jalanan di paving block sungguh tak nyaman di kaki.
Telat 1 jam lebih kami dari tim terakhir yang lebih dahulu sampai basecamp. Aku menjadi orang terakhir yang menginjakan kaki di basecamp saat itu. Ku ganti semua pakaianku dengan pakaian kering, ingin rasanya mandi menyegarkan tubuh, tapi udara begitu dingin membuat ku tak kuasa menahan, apa lagi dengan tubuh yang sedang demam, di tambah kantuk yang sejak perjalanan tadi menyerang. Ku pesan segelas teh panas dan makan malam, mendahului rekan-rekan ku, sebab aku sudah tak sanggup. Ku habiskan semua lalu kemudian ku minta obat kepada salah satu rekan ku. Kemudian aku tertidur lelap didalam kantong tidur ku..
Terimakasih
Banyak perjalanan sudah ku lalui, banyak gunung sudah ku daki, begitu pula banyak orang yang telah aku jumpai. Salah satu syukur ku adalah aku bertemu kalian semua, entah lah aku merasa aku tak sendiri ketika berada bersama kalian meskipun kita hanya dua kali berjumpa tapi kalian bagai orang-orang lama yang sudah berdebu dan kembali muncul setelah sekian lama. Lebay yaa... hahahaha
Tapi terimakasih sudah menyempatkan mampir di Negeri Kami yang sederhana, bermain bersama air, tanah, dan gelombang. Semoga suatu saat kita dapat melewati dingin malam, terik mentari bersama lagi. Mungkin kita bisa ke Rinjani bersama, menikmati alamnya yang luar biasa, bermain bersama di Segara Anak, mandi air panas. melewati hutan hujan tropisnya. Lalu kita bisa bersama menikmati liburan ala turis mancanegara di Gili Trawangan, bersnorkeling menikmati surga bawah lautnya...
Semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita lagi.. Terimakasih...
Entah ini pendakian ku yang ke berapa kalinya ke Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Tapi aku ingat ini pendakian kedua ku melalui Jalur Kopeng Cuntel. Tadinya aku sudah enggan lagi mendaki melalui jalur ini, sebab banyak pengalaman tidak mengenakkan melalui jalur ini waktu pendakian pertama kali. Tapi apa daya, huruf U yang terbalik hingga menyerupai magnet itu begitu kuat menarik ku kemari bersama segerombolan manusia istimewa dari Bogor, jadi lah ini pendakian bersama Palanus Kura-kura Ninja dan Semut Summit.
Sebenarnya aku sudah lupa sama nama-nama mereka, hanya beberapa orang saja yang aku masih ingat nama sekaligus rupa. Beberapa bulan lalu aku bertemu Palanus di Puncak Sindoro, gerombolan yang membuat Puncak Sindoro menjadi gaduh saat itu. Pertama kali bertemu mereka aku ingat tim ku terdahulu yang juga suka bikin heboh. Tapi kini entah dimana Semut-semut yang lain.
Semua berawal dari foto, sehingga kami berteman sampai saat ini, jarak tak lagi bisa memisahkan kami yang berbeda generasi dan berbeda provinsi. Palanus mempunyai basecamp di Tangerang, sementara Semut Summit di Yogyakarta. Kami biasa menghadapi medan pendakian yang berbeda, Palanus lebih sering explore gunung di Jawa Barat, Sementara Semut Summit, Gunung Jawa Tengah dan sekitarnya, beberapa waktu lalu Semut Summit ke Rinjani. Tapi siapapun yang kita temukan di gunung entah dari mana mereka berasal, apapun profesinya apapun warna kulitnya mereka adalah sodara, ya gak...?? iya in aja deh
Awalnya pendakian ini direncakan naik via Kopeng Tekelan dan turun di Wekas, lalu lanjut ke Pantai Baron. Rencana Palanus begitu, tapi semua berubah ketika kesalah pahaman datang. Sopir mobil yang membawa Palanus mengantarkan mereka ke Kopeng Cuntel, sementara aku sudah menunggu mereka di Kopeng Tekelan, alhasil aku harus menumpang ojek dan berpindah lokasi ke Kopeng Cuntel. Sambutan hangat dari Palanus membuat lelah ku hancur, letih ku yang membeku menjadi cair bahkan meluber seperti es krim yang dimasukan ke ricecooker, haha
13 orang dari palanus + saya yang sebatang kara mulai mengatur ulang jadwal dan rencana pendakian. Sebagai orang yang berpengalaman di Jalur Kopeng Cuntel masukan saran dan pertimbangan wajib ku berikan pada Palanus, syukurlah mereka dapat menerima sehingga diskusi tak lekas basi dan malah jadi ajang candaan hingga tengah malam.
Huruf U yang menyerupai Magnet
Hari sudah malam, sebagian personel sudah pada terlelap tidur tapi sebagian dari kami masih sibuk dengan banyolan kosong yang membuat tak henti tertawa. Di sudut ruangan ada yang menarik perhatian Kang Asep, benda kecil yang menempel di dinding. Benda itu terletak di atas gambar yang menyerupai petunjuk arah, bentuknya seperti huruf U atau memang huruf U, namun karena posisinya terbalik ke kiri 160derajat jadi lebih mirip tapal kuda atau magnet. Dengan tampang polos tanpa dosa nya Kang Asep bercuap "itu tapal kuda atau magnet ya?" sontak membuat penghuni basecamp yang masih terjaga tertawa terbahak-bahak, bahkan aku sampai menahan sakit perut karena tertawa. Riuhnyaa tawa kami membuat beberapa manusia yang tengah tertidur menjadi terbangun. Setelah di perhatikan dengan sesama, itu ternyata bukanlah tapal kuda apa lagi magnet tapi itu huruf U yang berarti Utara.
Pendakian Kedua via Kopeng Cuntel
Tim bergerak pukul 7:30 dari basecamp setelah berpfoto-foto kami bergegas mengangkut bawaan kami masing-masing. Masih pagi, udara masih begitu sejuk meskipun tadi pagi gak ada sunrise, sebab ketika mentari muncul awan mendung masih angkuh menghalang sinarnya. Ladang penduduk adalah medan pertama yang harus kami tempuh, lalu hutan hingga hingga sabana sampai pos 3, kemudian medan berganti tanjakan tanpa henti sampai di pos pemancar.
Entah kenapa pendakian kali ini terasa lebih berat, biasanya aku hanya butuh aklimasisi 1- 2 jam pendakian. Hal itu untuk mengatur ritme langkah dan nafas ku. Tapi kini aku membutuhkan waktu lebih lama, mungkin karena sebelum berangkat tubuh ku sudah kurang fit, beberapa hari aku hujan-hujanan. Kali ini bukan ingin ku berjalan di bagian belakang, tapi aku Aku pun tercecer di barisan pasukan kelaparan di belakang bersama Asar dan Hanjar yang setia menemani ku ngesot.
Monyet Tua Kelaparan
Kami lupa untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat. Menjelang tengah hari cacing-cacing dalam perut memberontak minta diberi makan, sialnya perjalanan masih jauh, Pos II saja belum dilewati, hanya cemilan dan makanan ringan yang bisa kami jamah sebagai makanan pembuka buat cacing-cacing yang mulai kelaparan.
Entah siapa yang memulai memberi makan si monyet tua. Tiba-tiba saja si monyet telah membawa biskuit dan mengunyahnya, alhasil monyet lapar itu terus mengikuti kami semenjak pos 1 hingga menjelang pos II. Tak leluasa kami mengeluarkan makanan sebab matanya selalu mengamati gerak-gerik kami, tak segan ia mendekat dan memamerkan wajah ganasnya seperti perampok yang siap menjambret makanan-makanan kami.
Kebiasaan-kebiasaan sepele seperti itu lah yang harusnya dihindari oleh pendaki, jangan membiasakan memberi makan binatang-binatang yang kita temui di gunung. Memberi makan hewan-hewan di alam akan merubah prilaku mereka, yang tadinya mereka mencari makan sendiri di alam akan menjadi tergantung ke pada pendaki, dan jika itu dibiarkan mereka akan menjadi terbiasa bahkan mengganggu pendaki lain jika tidak diberi makan.
Kabut yang Datang dan Pergi
Sejak pagi memang Merbabu diselimuti kabut yang cukup tebal. Hanya sesekali sinar terik mentari menyentuh alam Merbabu, sesekali pula pemandangan desa di kaki Merbabu terlihat dari ketinggian. Kabut terus datang silih berganti dengan ketebalan yang cukup pekat. Menjelang sore di Pos Menara baru lah kami cukup lama menikmati pemandangan ketika kabut tersingkir sejenak seolah mengizinkan kami menikmati sunset yang terhalang bukit.
Udara tidak begitu dingin di sekitar tempat kami mendirikan tenda, di Pos 3 jalur wekas tepatnya di pertigaan titik temu jalur kopeng dan wekas. 3 tenda kami dirikan untuk menampung kami malam ini. Aku membuat pancuran air didekat camp area, kebeteluan di sana ada air yang mengalir. Sementara yang lain mempersiapkan tenda dan memasak untuk makan malam.
Malam hari kabut berganti dengan kalut, sebab salah satu anggota mengalami gejala hipotermia. Ia kedinganan dan mengginggil, beberapa teman mencoba menenangkannya. Aku teringat beberapa cara menangangi hipotermia, salah satunya dengan parutan jahe yang dilumuri ke seluruh tubuh penderita. Kebetulan saat itu aku membawa banyak sekali wedang uwuh lengkap dengan jahe nya, jahe itu yang aku tumbuk (seharusnya diparut) hingga hancur dan bisa dilumuri ke tubuh penderita. Lalu kami mengisi botol-botol minum dengan air panas dan kemudian memasukannya ke dalam Sleeping bag yang di gunakan, gunanya untuk memanaskan suhu di dalam sleeping bag, dan kebetulan pula sebagian dari kami membawa matras alumunium foil, jadi si penderita dibungkus dengan alumunium foil dan dimasukan kedalam sleeping bag yang sudah dipanaskan.
Kemudian si pendertia diberi minum air jahe hangat dan diberi makan agar perutnya tidak kosong dan masuk angin. 1 jam kemudian setelah semua pasukan makan malam, ternyata si penderita sudah bisa keluar tenda dan bercanda dengan kami.. hahaha
Tiga Puncak Tertinggi Merbabu
Summit attack direncakan pukul 02.00 Wib, rencanya sih begitu tapi pukul 2 teman-teman belum pada bangun. Aku terbangun pukul 01.00 wib, melihat cuaca cukup cerah dengan banyak bintang serta angin yang cukup tenang aku keluar dari tenda dan memotret bintang serta lampu perkotaan yang tampak dari sekitar tenda. Hingga pukul 2 belum juga aku melihat teman-teman terbangun, mungkin mereka lelah pikir ku. Aku kembali ke dalam tenda menghangatkan diri sejenak, alarm jam 02:30 mulai berbunyi aku keluar tenda dan menyalakan api unggun sendiri. Aku membangunkan teman-teman menjelang jam 3, sebab mereka harus bangun jika tidak ingin terlambat sampai ke puncak. Satu persatu dari mereka bangun, tadinya ada beberapa orang yang tidak ikut ke puncak, tapi pada akhirnya semua jadi ke puncak. Aku pun demikian.
Persiapan untuk summit berlangsung cukup lama menjelang 3:30 kami baru bergerak Perjalanan diperkirakan dapat di tempuh 2 jam hingga ke Puncak KetengSongo. Perjalanan yang cukup berat adalah dari Gunung Kukusan hingga ke Helipad, lalu dari Helipad ke Pertigaan Puncak Syarif melewati tanjakan setan. Namun teman-teman sepertinya terlalu bersemangat hingga tidak kesulitan melewati jalur-jalur tersebut.
Sekitar pukul 06.00 kami sampai di puncak KetengSongo. Beberapa teman langsung menunaikan Sholat Subuh di pucak dengan berasalkan jaket mereka. Kabut lebih tebal menyelimuti puncak KetengSongo, jarak pandang hanya berkisar 2 - 5 meter saja, butirbutir embun menempel di permukaan jilbab, buff hingga membentuk seperti butiran salju. Kamera SLR ku berembun mengacaukan hasil jepretanya, tak baik jika membiarkannya berlama-lama di luar.
Cukup lama kami di puncak KetengSongo tanpa bisa menikmati pemandangann sekitar karena kabut tebal. Kami hanya bisa menikmati coklat dan cemilan ringan di puncak sambil berharap kabut tebal menyingkir meski sejenak. Puncak KetengSongo adalah salah satu dari tiga puncak tertinggi Gunung Merbabu, di puncak ini terdapat batu yang berlobang seperti wadah air. Beberapa tenda berdiri di Keteng Songo, beberapa pendaki pun sepertinya baru tiba di Puncak, sebagian dari mereka berfoto-foto di tengah kabut tebal.
Menunggu kabut tebal menyingkir seperti menunggu tanpa kepastian. Kami memutus kan untuk melanjutkan ke Puncak Trianggulasi yang berada di sebalah kanan dari Keteng Songo dengan menempuh perjalanan sekitar 5menit. Menembus kabut tebal berharap angin menyingsingkan gelap menjadi terang.
Tuhan mengabulkan doa kami, meski hanya sejenak kabut menyingkir, cahaya mentari yang terik leluasa mejamah kami yang tadi nya dingin. Hamparan perbukitan berwarna hijau begitu jelas, namun sayang Merapi di kejauhan masih berselimut kabut tebal.
Puncak memang bukan hal yang terlampau istimewa, tapi puncak adalah satu tujuan pasti bagi setiap pendaki meskipun tak jarang tujuan itu harus terpaksa kita kubur karena resiko yang menanti jauh lebih berat. Para pendaki bukanlah anak-anak manja tapi mereka adalah orang-orang yang bertaruh nyawa demi sebuah kepuasan batinnya. Mereka tak hanya menjaga raga pribadi, tapi menjadi penjaga rekan yang lain.
Aku bersyukur bisa membawa mereka pada misi yang tak selesai sempurna. Setidaknya mereka sudah menikmati keseluruhan puncak Tertinggi Gunung Merbabu, Puncak Keteng Songo, Puncak Trianggulasi, Puncak Syarif yang hanya kami nikmati sebagian orang saja, sebab yang sudah tak kuasa menahan lelah dan kembali ke tenda.
Pulang
Pulang adalah hal yang kurang begitu aku sukai, meskipun sering kali aku berpikir untuk pulang ketika lelah itu teramat menyiksa, tapi bukan berarti aku tak ingin pulang, aku selalu kangen rumah meskipun aku jarang sekali dirumah. Pulang sangat dekat dengan perpisahan. Begitu kita memutuskan untuk pulang berarti kita memutuskan untuk berpisah. Berpisah dengan segala kenangan yang tercipta beberapa waktu lalu, berpisah dengan orang-orang yang sebelumnya menghabiskan waktu bersama.
Memilih jalur yang berbeda ketika pulang dan pergi adalah hal menarik, kita tak harus melewati pendakian yang susah seperti kemarin namun kita juga harus bersiap dengan segala kemungkinan yang akan menyambut kita didepan sana. Karena kita tak pernah tahu jalur seperti apa yang akan kita lewati nanti.
Wekas
Menurut banyak pendaki ini adalah salah satu jalur yang paling bersahabat dan terbilang pendek untuk pendakian Merbabu, namun bagi ku Jalur selo tetaplah jalur yang paling enak. Perjalanan pulang melalui jalur ini menjadi semakin berat, sewaktu packing tiba-tiba hujan turun mengguyur semua barang yang ada. Keril, baju dan tenda menjadi basah hingga menambah beban. Aku kembali menjadi penghuni barisan paling belakang bersama Hanjar dan Asar. Saat itu tubuh ku terasa panas, aku rasa aku demam badan ku lemas, tapi tetap ku paksakan untuk segera turun. Hanjar dan Asar menjadi teman paling kocak di barisan belakang, dengan keril yang sama-sama berat kami tak henti-hentinya tertawa dengan candaan yang ngelantur. Hingga menjelang malam kami mulai kawatir sebab tak kunjung sampai ke basecamp, sementara kami tak tahu entah sampai di mana rekan-rekan kami di depan.
Selepas magrib kami bertiga menjadi hening, tak ada lagi candaan atau tawa yang mebahana. Hanya suara nafas dan langkah kaki yang nyaring terdengar. Lampu lampu yang terlihat seolah semakin menjauhi kami, suara-suara yang terdengar dari bawah seolah dekat tapi tak kunjung kami capai. Arhhh.. lelah sudah begitu menyiksa jari-jari kaki ku, apa lagi dengan jalanan di paving block sungguh tak nyaman di kaki.
Telat 1 jam lebih kami dari tim terakhir yang lebih dahulu sampai basecamp. Aku menjadi orang terakhir yang menginjakan kaki di basecamp saat itu. Ku ganti semua pakaianku dengan pakaian kering, ingin rasanya mandi menyegarkan tubuh, tapi udara begitu dingin membuat ku tak kuasa menahan, apa lagi dengan tubuh yang sedang demam, di tambah kantuk yang sejak perjalanan tadi menyerang. Ku pesan segelas teh panas dan makan malam, mendahului rekan-rekan ku, sebab aku sudah tak sanggup. Ku habiskan semua lalu kemudian ku minta obat kepada salah satu rekan ku. Kemudian aku tertidur lelap didalam kantong tidur ku..
Terimakasih
Banyak perjalanan sudah ku lalui, banyak gunung sudah ku daki, begitu pula banyak orang yang telah aku jumpai. Salah satu syukur ku adalah aku bertemu kalian semua, entah lah aku merasa aku tak sendiri ketika berada bersama kalian meskipun kita hanya dua kali berjumpa tapi kalian bagai orang-orang lama yang sudah berdebu dan kembali muncul setelah sekian lama. Lebay yaa... hahahaha
Tapi terimakasih sudah menyempatkan mampir di Negeri Kami yang sederhana, bermain bersama air, tanah, dan gelombang. Semoga suatu saat kita dapat melewati dingin malam, terik mentari bersama lagi. Mungkin kita bisa ke Rinjani bersama, menikmati alamnya yang luar biasa, bermain bersama di Segara Anak, mandi air panas. melewati hutan hujan tropisnya. Lalu kita bisa bersama menikmati liburan ala turis mancanegara di Gili Trawangan, bersnorkeling menikmati surga bawah lautnya...
Semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita lagi.. Terimakasih...