Gelap menuntun kita berjalan berdampingan, meski aku tak pernah kenal dan sempat tak yakin akan kehadiran mu. Tapi gelap membawa kita bergandengan, meski aku pernah enggan menerka ataupun mengizinkan hatiku sejenak saja mengingat mu. Gelap mengajarkan kita untuk saling bersama meski kita tak pernah tahu siapa kamu dan siapa aku. Tapi gelap dan air mata mengetuk pintu hati untuk sedikit memberi izin kepada secercah harapan untuk masuk dan menerangi ku di dalam gelap.
Pintu itu semakin hari semakin terbuka lebar, karena angin sejuk selalu berhembus semakin kencang. Ketika panas selalu ada air, dan ketika hujan selalu ada senyum yang mengahangatkan. Setidaknya itulah yang selama ini aku rasakan, ketika aku mulai mencoba menerka siapa kamu. Hingga detik menuntun ku menuju celah pintu hati yang perlahan mendekat atau aku yang tak sadar mendekat.
Ku mencoba membuka pintu hati untuk keluar dari kegelapan pandangan pertama, lalu kemudian mencoba menerima pandangan kedua, dengan segala kekurangan meski aku tak pernah yakin. Perlahan menit mengajarkan ku untuk menerima kamu, mulai bisa untuk berbagi hati, mulai mencoba berbagi tawa, berbagi cerita dan berbagi kesedihan, hingga tak sadar entah berapa kali siang dan malam menemani ku di luar kegelapan.
Sampai saat ini aku tak menemukan logika yang menjelaskan mengapa ada cinta, tak pernah aku temukan ada ilmu yang merumuskan dari mana datangnya cinta. Tak ada yang membuktikan cinta berawal dari mata lalu turun kehati, ataupun cinta pada pandangan pertama. Sebab pikiran dan hati ku sering berselisih paham tentang definisi cinta. Tapi Cinta ku tak berawal dari mata, dan tak pula turun ke hati.
Sajak ini ditulis bersama kesedihan
Sementara kamu tertidur dengan tangismu.
bersama air mata yang terus mengalir dan rintik hujan yang menemani tidurmu
Wanitaku,
Nasib yang tergantung dengan ketidak pastian.
Pada sebuah pertanyaan “mengapa” yang tak pernah bisa dijelaskan.
Untuk sosok manusia yang terjerat pada takdir yang takmungkin bisa untuk menghindar
Hingga nanti, mati dan sendiri.
Wanitaku.
Wanita yang aku Cintai setelah ibuku, wanita yang aku sayangi setelah adik perempuanku.
Hadir dengan llinangan airmata, yang membasahi pipi.
Dengan ketidak sempurnaan manusia berwujud wanita
Wanitaku.
Wanita yang kini berjalan dengan kemampuan nya sindiri.
Meniti kesabaran dalam ketidak pastian, wanita yang tegar seperti ibuku.
Wanita yang menyayangi dengan kesabaran,
sabar meski air mata terus berlinang.
Wanitaku
Wanita yang saat ini menjadi pemilik separuh hati dan sebahagian dari pikiranku.
Wanita yang meracuni ku dengan kelemah lembutannya,
Dengan keteguhanya mencoba menetralkan kuasa ego yang bersemayam.
Wanitaku.
Wanita yang aku tak pernah tahu mengapa aku bisa mencintainya
Menyayanginya, hingga menjadikanya wanita terindah dalam hidupku
Menjadi bagian dari kesibukan, dari detik yang berdetak.
Menjadi lilin kecil ketika gelap,
Aku tulis sajak ini dengan kesedihan yang tak berarti aku benci
Atau dengan amarah yang membesarkan kuasaku atas sabar mu.
Aku tulis sajak ini dengan kesedihan, wanitaku menangisi penyair yang terlupa.
Terlena dalam sibuk yang tak berujung.
Wanitaku.. Maaf aku melupakanmu…
Untuk jumlah kata yang sulit di hitung, tersambung sebagai ungkapan penjelasan yang sulit di ucapkan. Terangkai semerawut penuh arti, bingkisan kumuh di hari Annyversary yang semoga saja rutin terkirim dalam bingkaian deary bulanan mu.
Harapan itu selalu ada untuk esok agar menjadi lebih baik. Impian itu akan selalu ada untuk esok agar lebih bermakna. Begitu juga kenangan, akan selalu ada menjadi bagian dalam setiap detik dan molekul atom yang takkan pernah diam.
Cukup sekian kata-kata gombal dari pria yang menyakiti mu. Semoga saja aku bisa menjadi yang lebih baik untuk kamu dan kita semua.
Untuk wanitaku dari penyair yang terlupa.