Ironi Negeri Gemah Ripah

Seperti hari-hari biasanya, lelaki tua yang berumur antara 60-70 tahun itu datang ketempat ku kerja. Seperti biasanya pula ia mengenakan celana setinggi lutut, topi serta trash bag ukuran ukuran besar. Ia berjala dari arah barat dengan menarik gerobak warna kuningnya. Lalu langkahnya memasuki pintu kantor ku, security pun bergegas membukanan pintu untuknya, berupaya ramah karena bapak itu juga ramah terhadap kami. Meskipun aku tak tau siapa namanya, dan kebanyakan orang kantor pun tak tau namanya.

Ia berjalan ke gudang belakang menuju tempat sampah yang ada di setiap ruangan, lalu memindahkan isinya kedalam trashbag yang ia bawa. Apa saja yang ada di dalam tempat sampah itu ia masukan. kertas, plastik, botol minuman, dan sampah-sampah lainya. sekiranya ia tak kuat lagi mengangkat trashbag, ia akan menyeret trasbag itu, hingga terdengarlah suara perpaduan antara trashbag dan keramik.

Sebelum pulang ia berhenti untuk mengumpulkan sampah dari 3 tempat sampah yang ada di ruanganan ku. Teman-teman seolah senang ketika bapak itu datang, karena satu masalah terselesaikan dan tempat-tempat sampah pun siap dipenuhkan kembali. Tak lama lelaki tua itu mengumpulkan sampah di kantor ku, lalu ia keluar dan menaruh sampah yang ia kumpulkan di gerobaknya, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Tapi hari ini sedikit berbeda, setelah ia keluar dari kantor lantas tak langsung ia beranjak pergi. Tiba-tiba dari balik kaca ku melihat seorang yang lebih muda menghampirinya dengan wajah yang kurang bersahabat. Lelaki yang lebih muda itu datang dengan membawa sepeda motor lengkap dengan dua keranjang di bagian belakang motornya, serta seorang anak kecil duduk di depan. Kulihat dari jauh percakapan sepertinya serius, tapi tak satupun dari kami mencoba menengahi, bahkan security yang berjarak hanya 5 langkah dari dua laki-laki itu terlihat berdiam diri sambil sesekali berbicara pada tukang parkir kantor ku.

Tak satupun kata ku dengar, karena ruangku dan luar tertutup kaca rapat. Dari dalam ku lihat tempo percakapan semakin tinggi, dari tingkah pria yang lebih muda menunjukan bahwa ia sedang marah pada pak tua, tetapi pak tua hanya diam saja, bahasa tubuhnya terlihat sabar dan tenang, namun raut wajahnya ia tampak bingung, mungkin ia sedang mencerna apa yang lelaku muda itu katakan.

Beberapa menit berlalu pak tua pergi meninggalkan lelaki muda itu bersama motor dan anak kecilnya. Kemudian security kantor ku kembali ke dalam kantor, aku pun bertanya apa yang terjadi. Dengan bahsa sederhana security menjawan "Masalah sampah mas,.." aku pun terdiam sejenak dan berpikir..

Apakah dunia semakin edan, di negeri ini untuk mencari yang haram aja sulit apa lagi yang halal. Pekerjaan yang dirasa rendah terkadang menjadi pekerjaan yang justru paling susah di kerjaan. Ironi negeri ku ketika genderang perang capres dan cawapres di tabu, ketika pesta tengah digelar, masih ada tuan rumah yang mengais-ngais hidup dari tempat sampah. Janji mu kini, mungkin akan kau ingkari, karena kau tak kenal siapa kami, semacam mahkluk pelengkap sempurna mu, kau mengingat kami saat kau butuh hak kami, tapi kau lupakan kami ketika kau sudah mendapat hak mu, mereka mengais yang halal dari tempat yang kau bilang haram. Berebut kotoran dari sisa-sia yang kau abaikan, bahkan mereka meregang nyawa karena berebut kotoran yang kau anggap hina.

Penulis : Tirta Hardi Pranata ~ Tukang coret-coret di blog ini ~

Artikel Ironi Negeri Gemah Ripah ini dipublish oleh Tirta Hardi Pranata pada hari Friday, June 13, 2014. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Ironi Negeri Gemah Ripah
 

0 komentar:

Post a Comment